Kamis, 08 Februari 2018

sejarah kenjeng sepuh


Sejarah Kanjeng Sepuh

Masjid Kanjeng Sepuh
Nama aslinya Kanjeng Sepuh adalah Raden Adipati Soeryadiningrat. Dia adalah salah satu bupati di Kabupaten Sidayu. Kanjeng Sepuh terkenal karena dia seorang sarjana. Selain itu, ia juga memiliki kepemimpinan yang tinggi. Ketulusannya selalu berpihak pada yang lemah, dan selalu dekat dengan orang kecil yang membuat Kanjeng Sepuh sangat dicintai oleh masyarakat.
Asal usul Sidayu memiliki banyak cerita, di antaranya berasal dari kisah Supa Master, pada suatu waktu, Raja Blambangan memerintahkan utusannya untuk mencuri salah satu warisan kerajaan Majapahit. Pusaka adalah keris bernama Sumelang Gandring. Raja Majapahit kemudian membuat drama, "Siapa pun yang berhasil mendapatkan keris Sumelang Gandring, maka dia akan mendapatkan hadiah dari lahan hutan yang berada di antara Tuban dan Grissee". Jadi reli para pejuang untuk memperjuangkan hadiah, satu demi satu mereka gagal. Hutan Blambangan terlalu ganas bagi mereka untuk bepergian, belum lagi kekuatan supranatural sang raja. Jadi untuk kembali kerajaan keris pusaka itu tidak mungkin.
Tapi ada pembuat keris yang kuat. Namanya Empu Supa, dialah yang membuat pusaka Giri Kedaton. Ia mencoba mengikuti kontes, tidak semata-mata menginginkan harga pintu yang dijanjikan raja Majapahit. Namun niatnya sungguh tulus bahwa ia memang ingin menunjukkan pengabdiannya kepada kerajaan Majapahit. Sayangnya tak ada yang tahu bagaimana Empu Supa bisa menembus Kraton Blambangan, yang jelas menurut tenggat waktu ia berhasil mengembalikan keris Sumand Gandring itu dan mempersembahkannya kepada sang raja.
Raja Majapahit memenuhi janjinya, dia memberikan sebidang tanah hutan antara Tuban dan Grissee. Kemudian dengan para pengikutnya, tuan Supa mulai mbabat mendasarkan daerah itu. Dan lahan hutan di perjalanan oleh Empu Supa itu akan menjadi daerah yang bernama Sidayu.
Pada tahun 1817 seorang pria bernama Raden Adipati suryodiningrat, putra selir Sayyid Abdur Rohman Siruwun Solo, mulai menjadi bupati di Sidayu. Ia terkenal di seluruh wilayah Sidayu dengan nama KANJENG SEPUH. Kanjeng Sepuh memerintah Sidayu dari tahun 1817 sampai dia meninggal pada tanggal 9 Maret 1856, jadi selama 39 tahun dia memerintah daerah Sidayu.

Gelar ini bukan hanya karena semangat supernatural dan pemberani, kepahlawanan sebagai bupati

Pemerintah Belanda, tapi juga karena alim dan waro'nya, serta jujur ​​dan ikhlashnya,

 Apalagi dia termasuk satu-satunya ulama Islam yang sangat aktif memperjuangkan agama islam di seluruh wilayah Sidayu.
Beberapa kekuatan keberanian dan supranaturalnya adalah sebagai berikut:
1. Dia terus terang melarang siapapun terutama kepada pemerintah Belanda untuk mengindahkan dalemnya (rumah) sebelumnya
 mendapatkan izin dari dia, jadi kalau kebetulan tidur. Pelanggaran larangan ini mengakibatkan gila (gila).
2. Pada saat pemerintah Belanda akan membangun pasar yang sangat besar di Surabaya, untuk ini para bupati di seluruh Jawa
dipanggil ke Surabaya untuk pertimbangan pajak dan nama pasar.
 Dalam hal ini tidak ada bupati yang berani mengungkapkan pendapat mereka,
 kecuali Kanjeng Sepuh sendiri. Dia berkata: Tuan-tuan, pajak ini tidak boleh dicari dari bupati,
 yang akan membebani rakyat. Tapi lebih baik kalau kamu tanya
"Kapan kita mulai berperang melawan penjajah"? Tentang pasar saya setuju untuk diberi nama "PABEAN".
Pasar Pabean Surabaya
Pemerintah Belanda setelah melihat pidato semua bupati bahwa seluruh kebisingan, dijelaskan bahwa:
1. Masalah pajak tidak perlu dibahas.
2. Soal namanya setuju dengan pendapat Bupati Sidayu.
Dengan keputusan ini, beberapa warga Bupati Kanjeng ditolong Sepuh untuk datang ke rumahnya besok pagi pukul 08.00 tepatnya.
 Dan dia mengungkapkan kesediaannya. Pukul delapan, dia sampai di semua undangan pada saat bersamaan. Saat kembali dari Surabaya,
Setiap kali para undangan kewalahan dengan kebanggaan para undangan tersebut, antara lain mengatakan bahwa Kanjeng jam 8:00
rumahnya, seorang undangan lain menyangkalnya, karena pada saat bersamaan berada di rumah pria itu; jadi yang lain mengatakan hal yang sama.
Maka pertengkaran menjadi ramai, yang akhirnya bisa disadari bahwa ini berasal dari Kanjeng suci Sepuh.
Kebiasaan Kanjeng Sepuh:

1. Hampir setiap malam ia jarang tidur. Dalam waktu sunyi itu banyak digunakan untuk bepergian di setiap desa
mendengarkan dirinya sendiri dan menyaksikan keluhan orang-orang desa yang lapar, penyakit atau penderitaan lainnya:
Apalagi saat anak menangis, malam itu ia juga memberikan bantuan dalam bentuk uang atau obat yang dikenakan
 pintu depan rumah penduduk.
2. Dia tidak segan memberi nasehat tentang masalah Islam baik pada alim ulama maupun kepada
 masyarakat di daerah Kabupaten Sidayu jadi dia dikenal sebagai pelopor / pelindung Kyai.
Beberapa peninggalan dirinya yang sampai saat ini masih sangat merasakan manfaatnya bagi masyarakat di daerah kecamatan
Sidayu adalah danau yang terkenal dengan "TELOGO RAMBIT". Danau ini tidak pernah berubah air, namun bersih dan segar
meski sudah masuk banjir yang sangat keruh. Itu bahkan sedikit manis dan dingin.
Warisan kedua adalah DAHAR SUNGAI yang berada di desa Golokan Sidayu, airnya jernih, manis dan
Rasa dingin dan segar, tapi sekarang terlihat berantakan.
Di desa Lowayu ada juga pensiun Kanjeng Sepuh yang diberi nama "Kali Sumpet",
Dikatakan bahwa Kanjeng Sepuhlah memiliki ide untuk menyembunyikan sungai sehingga Desa Lowayu tidak kekurangan air
selama musim kemarau.
Kanjeng Sepuh bukan satu-satunya Kanjeng yang pada awalnya dimakan di Sidayu, tapi dia adalah salah satu dari delapan

sepuluh Kanjeng yang ditaburkan di Sidayu. Itu hanya karena dia suci. Ia memiliki sifat wali, sakti, berani dan saleh.

Maka dialah yang dikorbankan dan menjadi incaran semua orang, baik orang Sidayu maupun Sidayu,

 sehingga setiap tahunnya tak kurang dari 10 ribu pria dan wanita yang mengunjungi makam Kanjeng Sepuh Sidayu.
Kuburan Cungkup Kanjeng Sepuh Kanjeng-Kanjeng yang pernah lahir di Sidayu adalah sebagai berikut:
1. Bupati Kromowijoyo / Raden Keromowoyo atau Tumenggung Suradiningrat I (1737-1745)
2. Bupati Probolinggo / Bupati Abdul Jamil atau Raden Tumenggung Aryo Suradiningrat II (1745-1770)
3. Bupati Raden Kanjeng Soewargo / Bupati Tawang Alun (1770-1780)
4. Bupati Raden Kanjeng Sidongawen
    / Bupati Panji Dewa Kusuma atau Raden Tumenggung Suradiningrat IV (1780-1798)
5. Bupati Raden Kanjeng Sido Banteng atau Raden Tumenggung Aryo Suradiningrat I (1798-1810)
6. Bupati Kanjeng Kudus atau Raden Tumenggung Suradiningrat (1810-1815)
7. Bupati Kanjeng Djoko atau Raden Aryo Suradiningrat II (1815-1816)
8. Bupati Kanjeng Sepuh (Raden Adipati Soeryo Adiningrat)
    atau Raden Adipati Aryo Suryodiningrat III (1817-1855)
9. Kanjeng Pangeran (Putera Kanjeng Sepuh) atau Raden Adipati Aryo Suryadiningrat IV (1855-1884)
10. Bupati Badrun atau Raden Adipati Suradiningrat V (1884-1910) (tahun 1910 pindah ke Jombang)
Kanjeng Sepuh sendiri meninggal pada 2 Rajab pada 1784 H atau pada 9 Maret,
1856 M dan dimakamkan di belakang Masjid Jami 'Sidayu.
Masjid Jamayu Sidayu yang pertama didirikan pada tahun 1178 H
 bertepatan dengan tahun 1758 M Didirikan oleh Raden Kromowidjojo
 Bupati Sidayu pertama dibantu Raden Kanjeng Suwargo atau
 Tawang Alun dari Madura. Kemudian, pembangunan
Masjid disempurnakan oleh: Kanjeng Kudus (Bupati Keenam)
, Raden Adipati Soeryadiningrat
(Bupati Kedelapan)
Kanjeng Pangeran (Putera Kanjeng Sepuh) Bupati kesembilan dan H.M. Thahir Surakama
(Generous Sidayu).
Tapi masjid ini lebih dikenal dengan sebutan Masjid Kanjeng Sepuh, bahkan tombak
Pusaka Kanjeng Sepuh masih di masjid.
Seluruh konferensi bupati yang biasanya diadakan di Madura untuk Kanjeng Sepuh tidak mau berangkat sebelum jam 8:00 pagi,
 sedangkan pada pukul 08.00 WIB konferensi dimulai, padahal sebagian besar bupati sudah lama tinggal di tempat yang sama sebelumnya

konferensi. Tepat pukul 08.00 Kanjeng Sepuh naik kereta KENCANA, yang terkenal dengan cambuk cambuknya (cemeti) dan di

Sekejap mata saja dia sampai di Madura dengan kereta dan kuda.

Pada suatu waktu Kyai di seluruh Sidayu diminta untuk mempertimbangkan seberapa baik GAMELAN dan GONG-GONG dibuat?

Kyai sama takut untuk menjawabnya, dan akhirnya Kyai Musyafaklah yang menjawab dengan tegas, gamelan

 enak dan gong ditanam (dikubur) saja. Keputusan ini bisa disetujui oleh Kanjeng Sepuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PERKEMBANGAN SASTRA INDONESIA

PERKEMBANGAN SASTRA INDONESIA Sastra Indonesia merupakan sastra yang dibuat di wilayah kepulauan Indonesia. Sastra Indonesia in...