Sejarah dan masa kejayaan kerajaan bone
Kesultanan Bone atau sering pula dikenal
dengan Akkarungeng ri Bone, merupakan kesultanan yang terletak
di Sulawesi bagian barat daya atau tepatnya di daerah
ProvinsiSulawesi Selatan sekarang
ini. Menguasai areal sekitar 2600 km2.
Para Raja di Bone,
bergelar Arumpone Bone
Asal-usul Kerajaan Bone
Seperti halnya kelahiran Kerajaan Gowa, proses
sejarah berdirinya Kerajaan Bone juga diawali dengan kisah kehadiran
Tomanurung. Jika Tomanurung di Kerajaan Gowa adalah wanita, Tomanurung di
Kerajaan Bone adalah laki-laki. Kehadiran Tomanurung sebagai penguasa sentral
di Kerajaan Bone diawali oleh sebuah ikrar antara Tomanurung dan penguasa
unit-unit politik setempat. Sebelum kehadiran Tomanurung selalu ditandai dengan
fenomena alam yang mengerikan. Tulisan dalam lontarak mengisahkan bahwa sebelum
kedatangan Tomanurung, terjadi hujan dan petir sambung- menyambung tanpa putus
selama tujuh hari tujuh malam.
Seperti halnya kelahiran Kerajaan Gowa, proses
sejarah berdirinya Kerajaan Bone juga diawali dengan kisah kehadiran
Tomanurung. Jika Tomanurung di Kerajaan Gowa adalah wanita, Tomanurung di
Kerajaan Bone adalah laki-laki. Kehadiran Tomanurung sebagai penguasa sentral
di Kerajaan Bone diawali oleh sebuah ikrar antara Tomanurung dan penguasa
unit-unit politik setempat. Sebelum kehadiran Tomanurung selalu ditandai dengan
fenomena alam yang mengerikan. Tulisan dalam lontarak mengisahkan bahwa sebelum
kedatangan Tomanurung, terjadi hujan dan petir sambung- menyambung tanpa putus
selama tujuh hari tujuh malam.
Sesampainya
disana, terlihatlah seorang lelaki duduk berpakaian kuning di batu ”napara”
beserta tiga pengikutnya, yang masing-masing bertugas memang kipas, payung dan
membawakan salendrang (tempat sirih).
Para pemohon
dari Bone pun, langsung memohon kepada lelaki yang duduk di atas batu napara
agar kiranya bersedia menjadi Raja di Bone. Maka raja itu menyahut, “teddua
nawa-nawao” artinya “orang setia” dan “temmaballecoko” artinya tidak memungkiri
segala janji”.
Sesudah perjanjian
tersebut terlaksana, maka raja tersebutpun “nalekkeni ManurungE” artinya
“memindahkan Manurung itu ke Bone. Dan menjadi Raja Bone I di sana. Sesampainya
di sana, rakyat Bone lalu mendirikan istana untuk “ManurungE” (raja). Pendirian
istana itu lekas selesai dimana “bulisa” artinya kayu “potongan belum kering”,
raja sudah mendiami istana itu.
Islamisasi Bone , Proses Islamisasi di Bone tidak terlepas dari
proses Islamisasi pada Kerajaan Gowa. Yang mana proses Islamisasi Kerajaan
Gowa, dilakukan oleh Datu ri Bandang. Setelah Islamnya Kerajaan Gowa,
penyebaran Islam pun dimulai. Sultan Alauddin melakukan penyebaran-penyebaran
Islam secara damai. Pertama-tama ia lakukan dakwah Islam terhadap
kerajaan-kerajaan tetangga. Alasan beliau berdasarkan perjanjian yang berbunyi
“... bahwa barangsiapa menemukan jalan yang lebih baik, maka ia berjanji akan
memberitahukan kepada raja-raja sekutunya”
Akan tetapi jalan
damai tidak berlaku bagi Bone. Dalam hal ini Bone bersama sekutunya tidak
mempercayai penyebaran Islam yang dilakukan kerajaan Gowa tidak berdasarkan
ketulusan melainkan bersifat politis. Alasan tersbut beralasan, karena dalam
sejarah sebelum masuknya Islam telah tejadi benturan-benturan terhadap kedua
kerajaan. Menurut mereka ini adalah siasat Gowa untuk menguasai mereka.
Akhirnya
terjadilah Perang yang dikenal dengan musu sellenge atau perang peng-Islaman.
Seperti telah dituliskan sebelumnya telah terjadi perang pada tahun 1607-1611.
Yang berangsur-angsur memaksa Soppeng memeluk Islam pada tahun 1609 M, Wajo pada
tahun 1610 M dan Bone pada tahun 1611 M dengan perjanjian bahwa pemerintahan
kerajaan tetap berada pada tangan mereka.
Islam masuk di
Bone pada masa La Tenri Ruwa sebagai Raja Bone XI pada tahun 1611 M dan ia
hanya berkuasa selama 3 bulan. Sebabnya, karena beliau menerima Islam sebagai
agamanya padahal dewan adat Ade Pitue bersama rakyat menolak ajakan tersebut.
Akhirnya beliau meninggalkan Bone, kemudian ke Makassar mempelajari agama Islam
lebih mendalam dan meninggal di Bantaeng.
Perlu diketahui
sebelum Sultan Adam Mattindroe ri Bantaeng atau La Tenri Ruwa memeluk Islam.
Sudah ada rakyat Bone juga yang telah memeluk Islam, bahkan Raja sebelumnya We
Tenri Tuppu karena mendengar Sidendreng telah memeluk Islam ia pun tertarik untuk
mempelajarinya dan wafat disana. Sehingga ia digelari Mattinroe ri Sidendreng.
Lalu pada masa
La Maddaremmeng (1625 – 1640) yang menggantikan pamannya La Tenripale
Toakkeppeang Matinroe’ ri Tallo menjadi Arumpone XIII. La Maddaremmeng
mengamalkan Islam lebih ketat dibanding kerajaan lain termasuk Gowa-Tallo, di
antara gebrakannya yang terkenal adalah menghapus sistem perbudakan Ata, karena
manusia dilahirkan tidak untuk diperbudak; juga menghukum berat para penyembah
berhala atau mensakralkan tempat dan benda-benda tertentu; pelaku zina;
pencurian; miras, dan berbagai bentuk kemungkaran lainnya. Inilah sejarah awal
penerapan syariat Islam secara formal.
Maka
terjadilah perlawanan dari para bangsawan Bone bahkan perlawanan tersebut
dipimpin langsung oleh Ibu La Maddaremmeng sendiri yaitu Datu Pattiro we
Tenrisolorengbeliau menolak ajaran Islam versi anaknya karena diangganya keras
dan tidak toleran, ibunya lebih tertarik dengan ajaran Islam versi kerajaan
Gowa-Tallo karena lebih sufistik dan klop dengan ajaran kepercayaan pra-Islam
di Bone
Tercatat dalam Sejarah Bone tentang kepatuhan
La Maddaremmeng dalam menjalankan ajaran Islam dan mengimplementasikannya dalam
pemerintahannya. Bahkan diusahakan pula agar kerajaan tetanggnya seperti
Soppeng, Wajo dan Ajattapareng menirunya, khususnya dalam memerdekakan hamba
sahaya, kecuali yang memang budak turun temurun, sedang mereka inipun harus
diperlakukan manusiawi. Baginda bertindak keras tanpa pandang bulu terhadap
siapapun yang melanggar kebijaksanaannya. Meski begitu, tak sedikit pula
bangsawan dalam Kerajaan Bone sendiri yang menentang penghapusan perbudakan.
Dengan dalih menciptakan stabilitas keamanan
dalam negeri Bone dan penentangan terhadap penghapusan perbudakan, Gowa dibawah
pemerintahan Karaenge’, Sultan Malikus Said kembali menyerang Bone (1644). Ini
berarti Gowa sendiri tidak mau dan tidak menyetujui penghapusan perbudakan. La
Maddaremmeng menghadapi perang tersebut dengan dibantu saudaranya, La Tenriaji
Tosenrima, namun serangan Gowa secara besar – besaran tersebut tak dapat
ditahan pasukan Bone, Arumpone akhirnya menyingkir ke daerah Larompong. Di
Cimpu, Arumpone ditawan lalu dibawa ke Gowa, diasingkan di suatu kampung
bernama Sanrangang (1644). Rakyat dan Hadat Bone akhirnya mengangkat La
Tenriaji To Senrima sebagai Arumpone untuk melanjutkan perjuangan melawan Gowa.
La Maddaremmeng dikembalikan ke Bukaka dan disanalah Arumpone ini meninggal,
hingga digelari Matinroe ri Bukaka.
Bone berada pada puncak kejayaannya setelah
Perang Makassar, 1667-1669. Bone menjadi kerajaan paling dominan dijazirah
selatan Sulawesi. Perang Makassar mengantarkan La Tenritatta Arung Palakka
Sultan Saadudin sebagai penguasa tertinggi. Kemudian diwarisi oleh kemenakannya
yaitu La Patau Matanna Tikka dan Batari Toja. La Patau Matananna Tikka kemudian
menjadi leluhur utama aristokrat di Sulawesi Selatan.
Tambah lagi ya materi blogernya
BalasHapusSegera !!!
BalasHapus